Beberapa makanan asli Indonesia, seperti
tempe, telah terbukti dapat mencegah masalah gizi ganda (akibat kekurangan dan
kelebihan gizi) beserta berbagai penyakit yang menyertainya, baik infeksi
maupun degeneratif. Penelitian mengenai kadar gizi tempe serta potensinya
sebagai antibakteri, antioksidan, antidiare, dan penurun kolesterol, relatif
sudah banyak dilakukan. Hasil penelitian terbaru menunjukkan bahwa tempe dapat
juga digunakan untuk mencegah timbulnya hipertensi.
Tempe dapat
dikonsumsi dalam tiga bentuk utama, yaitu bentuk generasi I, II dan III. Pada
generasi I, tempe umumnya dikonsumsi secara tradisional dalam bentuk keripik,
bacem, lodeh, atau sambal goreng. Tempe generasi II umumnya berbentuk tepung
yang dapat digunakan sebagai kandungan pangan yang berguna untuk meningkatkan
kadar gizi dan serat, sebagai pengawet alami, dan untuk menanggulangi diare
pada anak-anak.
Tempe juga dapat
diolah dalam bentuk generasi III, yaitu sebagai konsentrat protein, isolat
protein, peptida, serta komponen bioaktif lainnya. Di masa depan, hasil olahan
tempe generasi III ini tampaknya akan memiliki prospek yang sangat cerah, baik
untuk kebutuhan medis maupun gizi.
Akhir-akhir ini
banyak peneliti (terutama di Jepang) yang menaruh minat terhadap cara mencegah
timbulnya hipertensi dengan memanfaatkan komponen aktif yang terdapat di dalam
bahan pangan. Salah satu komponen aktif yang saat ini mendapat perhatian utama
adalah peptida hasil penguraian protein oleh enzim protease.
Beberapa peptida
yang terdapat di dalam tempe memiliki sifat sebagai penghambat kerja ACE, sehingga
proses pengubahan angiotensin I menjadi angiotensin II menjadi terhambat.
Rendahnya konsentrasi angiotensin II inilah yang berkontribusi terhadap pencegahan
timbulnya hipertensi.
Cara terbaik
untuk mengoptimalkan khasiat tempe bagi tubuh kita adalah dengan mengonsumsinya
setiap hari dalam jumlah yang cukup berarti. Semboyan "tiada hari tanpa
tempe" perlu digalakkan di setiap rumah tangga. Variasi penggunaan tempe
dalam berbagai resep masakan perlu dilakukan untuk menghindari kebosanan terhadap
menu yang sama Tekanan darah tinggi atau hipertensi adalah kondisi medis
di mana terjadi peningkatan tekanan
darah secara kronis (dalam jangka waktu
lama). Penderita yang mempunyai sekurang-kurangnya tiga bacaan tekanan darah
yang melebihi 140/90 mmHg saat istirahat diperkirakan mempunyai keadaan darah
tinggi. Tekanan
darah yang selalu tinggi adalah salah
satu faktor risiko untuk stroke,
serangan jantung,
gagal jantung
dan aneurisma
arterial, dan merupakan penyebab utama gagal jantung
kronis.
Penyebab
hipertensi
Hipertensi berdasarkan penyebabnya dibagi menjadi 2 jenis :
- Hipertensi primer
atau esensial adalah hipertensi yang tidak / belum diketahui penyebabnya
(terdapat pada kurang lebih 90 % dari seluruh hipertensi).
- Hipertensi sekunder
adalah hipertensi yang disebabkan/ sebagai akibat dari adanya penyakit
lain.
Hipertensi primer kemungkinan memiliki
banyak penyebab; beberapa perubahan pada jantung dan pembuluh darah kemungkinan
bersama-sama menyebabkan meningkatnya tekanan darah. Jika penyebabnya
diketahui, maka disebut hipertensi sekunder. Pada sekitar 5-10% penderita
hipertensi, penyebabnya adalah penyakit ginjal. Pada sekitar 1-2%, penyebabnya
adalah kelainan hormonal atau
pemakaian obat tertentu (misalnya pil KB).
Penyebab hipertensi lainnya yang jarang
adalah feokromositoma, yaitu tumor pada kelenjar adrenal yang menghasilkan
hormon epinefrin (adrenalin) atau norepinefrin (noradrenalin). Kegemukan
(obesitas), gaya hidup yang tidak aktif (malas berolah raga),
stres, alkohol atau
garam dalam makanan; bisa memicu terjadinya hipertensi pada orang-orang
memiliki kepekaan yang diturunkan. Stres cenderung menyebabkan kenaikan tekanan
darah untuk sementara waktu, jika stres telah berlalu, maka tekanan darah
biasanya akan kembali normal.
Beberapa penyebab terjadinya hipertensi sekunder:
- Penyakit
Ginjal
- Stenosis arteri renalis
- Pielonefritis
- Glomerulonefritis
- Tumor-tumor ginjal
- Penyakit ginjal polikista
(biasanya diturunkan)
- Trauma pada ginjal (luka yang
mengenai ginjal)
- Terapi penyinaran yang mengenai
ginjal
- Kelainan
Hormonal
- Obat-obatan
- Penyebab
Lainnya
- Koartasio aorta
- Preeklamsi pada kehamilan
- Porfiria intermiten
akut
- Keracunan timbal
akut.
Menggali Potensi
Tempe sebagai Penurun Tekanan Darah PDF Cetak Surel PERUBAHAN pola makan yang
menjurus ke konsumsi makanan siap santap yang mengandung lemak, protein, dan
garam tinggi namun rendah serat, memicu berkembangnya penyakit degeneratif
seperti jantung, diabetes mellitus, aneka kanker, osteoporosis, dan hipertensi
(tekanan darah tinggi).
Hasil Survei Kesehatan
Rumah Tangga 1995 menunjukkan prevalensi hipertensi di Indonesia cukup tinggi,
83 per 1.000 anggota rumah tangga, dimana umumnya perempuan lebih banyak
menderita hipertensi dibanding pria dan prevalensi di daerah luar Jawa-Bali
lebih besar dibanding Jawa-Bali. Hal tersebut terkait erat dengan pola makan,
dimana konsumsi garam umumnya tinggi di luar Jawa dan Bali.
Makanan asli
Indonesia seperti tempe, telah terbukti dapat mencegah masalah gizi ganda
(akibat kekurangan dan kelebihan gizi) beserta berbagai penyakit yang
menyertainya, baik penyakit infeksi maupun penyakit degeneratif.
Penelitian
mengenai kadar gizi tempe serta potensinya sebagai antibakteri, antioksidan,
antidiare dan penurun kolesterol, relatif sudah banyak dilakukan. Namun,
kaitannya dengan tekanan darah belum banyak terungkap. Beberapa literatur
menyatakan, tempe dapat mencegah hipertensi, tetapi penyebab danmekanisme
reaksi belum diketahui. Tempe dikonsumsi dalam tiga bentuk utama yaitu generasi
I, II dan III.
Pada generasi I
tempe dikonsumsi secara tradisional dalam bentuk keripik, bacem, atau sambal
goreng tempe. Tempe generasi II berbentuk tepung yang dapat digunakan sebagai
ingredien pangan untuk meningkatkan kadar gizi dan serat, pengawet alami, dan
menanggulangi diare pada anak-anak.
Pada generasi
III tempe diolah sebagai konsentrat protein, isolat protein, peptida, serta
komponen bioaktif lainnya. Di masa depan, hasil olahan tempe generasi III
tampaknya akan berprospek sangat cerah untuk kebutuhan medik maupun gizi.
Akhir-akhir ini
banyak peneliti (terutama Jepang) berminat pada cara pencegahan hipertensi
dengan memanfaatkan komponen aktif dalam bahan pangan. Salah satu komponen
aktif yang mendapat perhatian utama adalah peptida hasil penguraian protein
oleh enzim protease.
Beberapa peptida
penurun tekanan darah telah berhasil diisolasi dari berbagai bahan pangan
sumber protein, seperti kasein, kedelai, jagung, kecap, ikan, dan lain-lain.
Walaupun aktivitas peptida-peptida tersebut masih lebih rendah dari obat
penurun tekanan darah komersial (seperti captopril dan enalapril),
penemuan tersebut telah memberi
arti yang sangat penting dari segi medis, terutama karena bersumber dari bahan
alami yang aman untuk dikonsumsi.
Hipertensi
Penyakit hipertensi sering disebut
the silent disease karena seseorang umumnya tidak mengetahui dirinya menderita
hipertensi, sebelum memeriksakan tekanan darahnya. Penyakit ini dikenal juga
sebagai heterogenous group of disease, karena dapat menyerang siapa saja dari
berbagai kelompok umur dan kelompok sosial-ekonomi.
Hipertensi dapat
dikelompokkan dalam dua kategori besar, yaitu hipertensi primer dan hipertensi
sekunder. Hipertensi primer belum diketahui penyebabnya dengan jelas. Berbagai
faktor diduga turut berperan sebagai penyebab hipertensi primer, seperti
bertambahnya umur, stres psikologis, dan hereditas (keturunan). Sekitar 90%
pasien hipertensi diperkirakan termasuk dalam kategori ini. Golongan kedua
adalah hipertensi sekunder yang penyebabnya telah pasti, misalnya ginjal yang
tidak berfungsi, pemakaian oral kontrasepsi, dan terganggunya keseimbangan
hormon.
Faktor pemicu
hipertensi dapat dibedakan atas faktor yang tidak dapat dikontrol (seperti
keturunan, jenis kelamin dan umur) dan faktor yang dapat dikontrol (seperti
kegemukan, kurang olahraga, merokok, konsumsi alkohol dan konsumsi garam).
Dengan demikian, sesungguhnya hipertensi dapat dicegah dengan pengaturan pola
makan dan aktivitas fisik yang cukup.
Secara umum,
seseorang dikatakan menderita hipertensi jika tekanan darah
sistolik/diastoliknya melebihi 140/90 mmHg (normalnya adalah 120/80 mmHg).
Tekanan darah sistolik adalah tekanan darah pada saat jantung memompa darah ke
dalam pembuluh nadi (saat jantung mengkerut). Tekanan darah diastolik adalah
tekanan darah pada saat jantung mengembang dan menyedot darah kembali (pembuluh
nadi mengempis kosong).
Mekanisme
terjadinya hipertensi adalah melalui terbentuknya angiotensin II dari
angiotensin I oleh angiotensin I-converting enzyme (ACE). ACE memegang peranan
fisiologis penting dalam mengatur tekanan darah (lihat Gambar). Darah
mengandung angiotensinogen yang diproduksi hati, yang oleh hormon rennin (diproduksi
oleh ginjal) akan diubah menjadi angiotensin I (dekapeptida yang tidak aktif).
Oleh ACE yang terdapat di paru-paru, angiotensin I diubah menjadi angiotensin
II (oktapeptida yang sangat aktif). Angiotensin II inilah yang memiliki peranan
kunci dalam menaikkan tekanan darah melalui dua aksi utama.
Aksi pertama
adalah meningkatkan sekresi hormon antidiuretik (ADH) dan rasa haus. ADH
diproduksi di hipotalamus (kelenjar pituitari) dan bekerja pada ginjal untuk
mengatur osmolalitas dan volume urin. Dengan meningkatnya ADH, sangat sedikit
urin yang diekskresikan ke luar tubuh (antidiuresis) sehingga urin menjadi
pekat dan tinggi osmolalitasnya. Untuk mengencerkan, volume cairan
ekstraseluler akan ditingkatkan dengan cara menarik cairan dari bagian
instraseluler. Akibatnya volume darah meningkat sehingga meningkatkan tekanan
darah.
Aksi kedua
adalah menstimulasi sekresi aldosteron dari korteks adrenal. Aldosteron
merupakan hormon steroid yang berperan penting pada ginjal. Untuk mengatur
volume cairan ekstraseluler, aldosteron akan mengurangi ekskresi NaCl (garam)
dengan cara mereabsorpsinya dari tubulus ginjal. Naiknya konsentrasi NaCl akan
diencerkan kembali dengan cara meningkatkan volume cairan ekstraseluler yang
pada gilirannya akan meningkatkan volume dan tekanan darah.
Apresiasi
masyarakat terhadap tempe perlu ditingkatkan dengan penyuluhan kandungan gizi
dan khasiat medisnya. Semakin meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap
kesehatan dan semakin dikenalnya khasiat dan keunggulan tempe, meningkatkan
peluang konsumsi tempe di masa mendatang.
Hasil penelitian
kami (Astawan et al, 1998) yang didanai oleh proyek Riset Unggulan Terpadu
(RUT) dari Kantor Menteri Negara Riset dan Teknologi menunjukkan, hidrolisat
tempe berpotensi menurunkan tekanan darah pada tikus percobaan yang mengalami
hipertensi. Perlakuan utama pada penelitian itu adalah pengaruh jenis inokulum
dan lama waktu fermentasi kedelai terhadap aktivitas penurunan tekanan darah
tempe yang diuji dengan tikus jenis SHR (spontaneously hypertensive rats).
Terdapat tiga
jenis kultur dalam pembuatan tempe, yaitu kultur campuran, kultur murni, dan
kultur murni campuran. Pada kultur campuran (yang sering dikenal sebagai laru
pasar), selain mengandung kapang juga mengandung bakteri dan khamir. Kultur
murni hanya mengandung satu jenis mikroorganisme, misalnya Rhizopus
oligosporus. Campuran dua atau tiga kultur murni adalah kultur murni campuran.
Enzim protease
yang dihasilkan oleh kapang selama proses fermentasi kedelai menjadi tempe akan
menguraikan protein (polipeptida) menjadi peptida-peptida yang lebih pendek dan
asam amino bebas. Beberapa dari peptida yang dihasilkan tersebut (terutama yang
terdiri dari 5-10 asam amino) dapat berperan sebagai penurun tekanan darah,
melalui suatu aksi penghambatan terhadap kerja angiotensin I converting enzyme
(ACE).
Dengan adanya
peptida yang bersifat sebagai penghambat ACE (ACE inhibitor), maka kerja ACE
dalam mengubah angiotensin I menjadi angiotensin II akan terganggu sehingga
tekanan darah dapat diturunkan (lihat Gambar).
Dari hasil
penelitian kami, diketahui bahwa kultur campuran (laru pasar) menghasilkan
tempe dengan potensi hipotensif (penurun tekanan darah) lebih besar
dibandingkan kultur murni Rhizopus oligosporus NRRL 2710. Dengan demikian tempe
yang dibuat secara tradisional oleh para pengrajin tempe Indonesia bersifat
lebih menguntungkan dibandingkan tempe yang dibuat di luar negeri yang umumnya
menggunakan kultur murni.
Dari penelitian
kami diketahui bahwa waktu fermentasi kedelai terbaik untuk menjadi tempe
dengan khasiat penurun tekanan darah yang terbaik adalah 36 jam. Fermentasi
yang melebihi 36 jam, menyebabkan enzim protease tidak hanya menghidrolisis
protein menjadi peptida, tetapi juga menjadi asam amino bebas dan amonia yang
tidak memiliki aktivitas sebagai ACE inhibitor.
Dampak pemberian
ransum yang mengandung tepung tempe (43 persen dari total ransum) dibandingkan
dengan kontrol (kasein) selama 21 hari percobaan terhadap tikus hipertensi
menunjukkan bahwa pemberian ransum tempe mampu menurunkan tekanan darah
sistolik sebesar 46 poin (24 persen penurunan) dan tekanan darah diastolik
sebesar 37 poin (23 persen penurunan).
Walaupun
penelitian ini dilakukan dengan menggunakan tikus hipertensi, namun hasilnya
dapat diekstrapolasikan ke manusia. Artinya hal yang sama juga dapat terjadi
pada manusia, tetapi tentu saja dengan dosis dan lama waktu yang berbeda.
Informasi dari penelitian ini hanyalah merupakan informasi awal bahwa tempe
memiliki aktivitas hipotensif bagi penderita hipertensi.
Cara terbaik
untuk mengoptimalkan khasiat tempe bagi tubuh kita, adalah dengan
mengonsumsinya setiap hari dalam jumlah yang cukup berarti. Variasi penggunaan
tempe dalam berbagai resep masakan perlu dilakukan untuk menghindari kebosanan
terhadap menu yang sama.
Agar dapat
digunakan secara lebih praktis, maka jenis peptida penurun tekanan darah yang
terdapat pada tempe dapat diisolasi dan dimurnikan. Selanjutnya, komponen aktif
yang diperoleh dapat diolah dalam bentuk tablet atau kapsul yang dapat
digunakan sebagai food supplement. Untuk itu diperlukan teknologi dan dana
investasi yang cukup besar